Banyak yang bilang, berwisata ke Malang
belum lengkap sebelum mampir di Gunung Kawi. Gunung yang tingginya
2.860 meter dari permukaan laut ini, terletak di Kabupaten Malang,
Jawa Timur, sekitar 40 kilometer sebelah barat Kota Malang.
Sebenarnya, bukan
Gunung Kawinya yang membuat tempat ini terkenal. Tetapi adanya sebuah
kompleks pemakaman keramat, yang berada di lereng selatan gunung ini
yang di datangi banyak orang. Di sepanjang jalan akan menemui
bangunan dengan arsitektur khas Cina, banyak terdapat kuil atau
klenteng tempat untuk bersembahyang atau melakukan ritual warga
Tionghoa.
Menjadi pemandangan
sehari-hari di kelenteng Gunung Kawi bila melihat seorang Jawa
bersarung dan berkopiah, mencoba peruntungan dengan mengocok bambu
ramalan atau ciamsi.
Dua budaya dan
ritual Jawa dan Tionghoa berbaur di sini, ini akan terlihat mencolok
pada peringatan malam satu suro. Karena dalam kompleks pemakaman
tersebut, setidaknya ada tiga tempat pertunjukan wayang kulit dengan
lakon tertentu yang dipesan oleh warga Tionghoa sebagai kaulnya.
Sementara itu beberapa warga masyarakat Jawa berpartisipasi dengan
melangsungkan Khataman Alquran, tahlil, dan pengajian akbar. Meski
pegunungan, jangan dibayangkan akan sepi, dan jalannya terjal, karena
di sini dipadati perumahan dan toko di sepanjang jalan. Jalannya juga
bukan jalan setapak, melainkan jalan yang sudah disemen cukup lebar,
jika tidak mau capek ke atas Anda bisa menggunakan sepeda motor.
Berjalan kaki sejauh
tiga kilometer tidak akan terasakan, karena berbagai penjual makanan
ramai di sini, mulai dari masakan Chinese food sampai Indonesian
food, ada yang menjualnya. Tak perlu bingung, urusan makan di Gunung
Kawi, sebagai makanan pembuka, udara gunung yang dingin, dapat
dihangatkan dengan telo, bentoel, atau sedapnya lupis dan tetel khas
Gunung Kawi.
HANGATNYA
TELO
Komoditi umbi-umbian dari Gunung Kawi, yang paling populer adalah ketela atau telo Gunung Kawi. Basil bumi yang satu ini, sangat mudah dijumpai sepanjang perjalanan menuju ke pesarehan. Selain dijual mentah, telo juga dijajakan dalam keadaan matang.Telo yang telah dikukus, diletakkan dalam wadah baskam, dan ditutup dengan daun pisang. Ketika menawarkan ke pengunjung, penjaja membuka sedikit daun pisang, sehingga tampak kepulan asap dari telo hangat tersebut.
Komoditi umbi-umbian dari Gunung Kawi, yang paling populer adalah ketela atau telo Gunung Kawi. Basil bumi yang satu ini, sangat mudah dijumpai sepanjang perjalanan menuju ke pesarehan. Selain dijual mentah, telo juga dijajakan dalam keadaan matang.Telo yang telah dikukus, diletakkan dalam wadah baskam, dan ditutup dengan daun pisang. Ketika menawarkan ke pengunjung, penjaja membuka sedikit daun pisang, sehingga tampak kepulan asap dari telo hangat tersebut.
Telo daerah sini
memang sudah terkenal, karena rasanya manis, salah satu pedagang
tela. Untuk udara pegunungan yang dingin, telo paling pas disajikan
hangat, untuk menjaga tetap mengepul, penjaja biasa membungkus
rapat-rapat baskom dengan tumpukkan daun pisang.
Kulit tela
terlihat segar mengkilap, menggada mata untuk mencicipi.
“Wamanya cantik, selain karena terkena air kukusan, juga tela-nya
manis, gulanya membuat kulit tela mengkilat,” terang ibu
tiga orang anak ini. Tentang adanya anggapan bahwa tela
diberi minyak gareng, agar mengkilap juga ditepisnya, “Mestinya
kalau dikasih minyak khan licin, tapi ini kulitnya keset,”
imbuhnya. Tela Gunung Kawi, memang terkenal manis rasanya,
warna daging dalamnya berwarna kehijauan. Kata Sumiyati, telo
gunung berbeda dengan telo sawah. “Telo sawah dalamnya
berwarna putih, rasanya kurang manis,” terangnya.
Harga telo
Gunung Kawi, lebih mahal dibanding telo di pasaran, dua ikat
tela harganya Rp 15 ribu. Itu yang berukuran besar,
sedangkan satu ikat kecil, harganya Rp 4 ribu. Bandingkan tela
biasa di pasaran, satu kilogram hanya seribu lima ratus rupiah.
“Sedikit mahal, tapi rasanya juga beda,” katanya. Jadi maklum
saja, jika Anda membeli telo matang seharga seribu rupiah,
hanya diberi tiga potong berukuran kecil.
Hasil pertanian lain, yang dijajakan
adalah tebu. Bukan sekedar batang tebu, melainkan tebu yang sudah
dipotong-potong kecil, dan dirangkai cantik. Jadi tidak perlu repot
memotong, karena potongan kecil, pas di mulut. Ide merangkai tebu
dengan bambu kata Sumiyati, sudah umumdilakukan penjual di Gunung
Kawi, Serat bambu dibentuk lalu ditancapkan potongan tebu, hasilnya
seperti rangkaian bunga. Kok telaten? “Namanya juga nyari
rejeki, kudu telaten,” jawab Sumiyati.
LUPIS LEGIT
Di kaki Gunung Kawi ini, jika hari
libur dan hari besar, banyak sekali penjual goreng-gorengan. Tahu,
tempe kacang, tempe menjes, ubi, dan masih banyak lagi. Di samping
itu, ada pula jajanan tradisional yang sudah dikenal secara umum,
meski jenisnya sama, rasa, dan bentuknya ada yang sedikit berbeda,
seperti lupis dan tetel. Keduanya menggunakan bahan dasar beras
ketan.
Rasa lupisnya
kenyal, dan dijamin, lupisnya tidak basi meski sudah dua hari.
“Rasanya agak liat dari lupis di pasar,” komentar seorang
pembeli. rasanya lebih kenyal, karena bahan yang digunakan beras
ketan yang punel. Setiap pagi, ibu dua orang anak ini, memasak heras
ketan yang sudah direndam semalam, kemudian direbus dengan air selama
empat jam.
“Lima kilogram,
bisa jadi 150 lonjor lupis. Itu kalau berasnya mekar,”
jelasnya. Lupis juga bisa dijadikan buah tangan, panganan dari beras
ketan ini katanya menjadi oleh-oleh favorit pengunjung dari luar
kota. Harga satu lonjor lupis, hanya Rp 2000. Jika ingin disantap di
tempat, maka dengan sigap ia mengiris lupis menggunakan senar, ditata
di atas pincuk daun pisang, diberi gendis atau
larutan gula jawa, lalu diberi parutan kelapa.
Selain lupis, Yanti
juga menjual tetel, orang Jawa ada yang menyebutnya jadah,
rasanya gurih karena ada eampuran parutan kelapa. Yanti, juga
tidak pelit memberikan resep tetel. “Ketan dikukus setengah matang,
kemudian dicampur dengan kelapa yang sudah diparut, dan dikukus
lagi,” terangnya. Tetel, lalu dibentuk menjadi bulatan sebesar
mangkuk dan dibungkus plastik. “Satu gelinding, harganya
hanya seribu lima ratus,” ujarnya.
RENGGINANG
RENYAH
Makanan tradisional satu ini, cenderung dianggap makanan kelas kampung. Di Gunung Kawi, makanan olahan etnik, semacam kripik pisang, keripik singkong, sudah cukup terdesak oleh berbagai makanan modern. Di tengah kondisi ini, ternyata sejumlah produk makanan, yang masih mendapat tempat di hati masyarakat, yaitu rengginang, bentuk, rasa, serta aroma yang unik dan khas dari kerupuk ketan ini menjadi hal menarik bagi pengunjung.
Makanan tradisional satu ini, cenderung dianggap makanan kelas kampung. Di Gunung Kawi, makanan olahan etnik, semacam kripik pisang, keripik singkong, sudah cukup terdesak oleh berbagai makanan modern. Di tengah kondisi ini, ternyata sejumlah produk makanan, yang masih mendapat tempat di hati masyarakat, yaitu rengginang, bentuk, rasa, serta aroma yang unik dan khas dari kerupuk ketan ini menjadi hal menarik bagi pengunjung.
Aktivitas pembuat
rengginang, dapat dilihat sepanjang menuju pesarean, banyak penduduk
yang menjemur rengginang di halaman rumah. Salah satunya adalah Mbok
Yem, wanita sepuh ini menuturkan, usaha rumahan yang dilakukannya ini
meski hanya sambilan. Namun, dalam seharinya ia bisa memproduksi
hingga sepuluh kilogram beras ketan. Rengginang hasi olahannya
yang masih mentah, ia jual dengan harga Rp 7 ribu per kilogram. Ada
yang sudah dikemas plastik setengah kiloan.
“Rengginang
berwarna hitam yang paling laku, karena jarang ada rengginang dari
ketan hitam,” jelasnya ramah. Rengginang buatannya, tanpa bahan
pewarna, berbahan ketan hitam. Proses pembuatannya, beras ketan,
setelah direndam selama 24 jam, diberi bumbu. “Bumbunya, bawang
putih, gula, dan garam,” ujarnya. Bernada promosi, Mbok Yem
mengatakan, rengginangnya dijamin renyah dan gurih. Ia juga
menyediakan dalam kemasan bungkus. lsi satu bungkus ada 24 buah.
“Agar rengginang mekar, sebaiknya dijemur hingga kering, baru
digoreng dalam minyak panas,” kata Mbok Yem memberikan sedikit
tips.
SATE AYAM
BUNTEL
Area pesarean Gunung Kawi, tak pernah sepi dikunjungi para peziarah. Sementara itu, tak jauh dari tangga menuju makam, sebuah dapur yang luas dengan beberapa tungku dan penggorengan besarnya, beberapa ibu-ibu terus sibuk memasak pesanan para peziarah untuk upacara sesaji malam harinya.
Area pesarean Gunung Kawi, tak pernah sepi dikunjungi para peziarah. Sementara itu, tak jauh dari tangga menuju makam, sebuah dapur yang luas dengan beberapa tungku dan penggorengan besarnya, beberapa ibu-ibu terus sibuk memasak pesanan para peziarah untuk upacara sesaji malam harinya.
Sumber :
http://jawatimuran.wordpress.com/2012/05/19/gunung-kawi-oleh-oleh/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar