Rabu, 20 Agustus 2014

Banyak yang bilang, berwisata ke Malang belum lengkap sebelum mampir di Gunung Kawi. Gunung yang tingginya 2.860 meter dari permukaan laut ini, terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, sekitar 40 kilometer sebelah barat Kota Malang.
Sebenarnya, bukan Gunung Kawinya yang membuat tempat ini terkenal. Tetapi adanya sebuah kompleks pemakaman keramat, yang berada di lereng selatan gunung ini yang di datangi banyak orang. Di sepanjang jalan akan menemui bangunan dengan arsitektur khas Cina, banyak terdapat kuil atau klenteng tempat untuk bersembahyang atau melakukan ritual warga Tionghoa.
Menjadi pemandangan sehari-hari di kelenteng Gunung Kawi bila melihat seorang Jawa bersarung dan berkopiah, mencoba peruntungan dengan mengocok bambu ramalan atau ciamsi. 
Dua budaya dan ritual Jawa dan Tionghoa berbaur di sini, ini akan terlihat mencolok pada peringatan malam satu suro. Karena dalam kompleks pemakaman tersebut, setidaknya ada tiga tempat pertunjukan wayang kulit dengan lakon tertentu yang dipesan oleh warga Tionghoa sebagai kaulnya. Sementara itu beberapa warga masyarakat Jawa berpartisipasi dengan melangsungkan Khataman Alquran, tahlil, dan pengajian akbar. Meski pegunungan, jangan dibayangkan akan sepi, dan jalannya terjal, karena di sini dipadati perumahan dan toko di sepanjang jalan. Jalannya juga bukan jalan setapak, melainkan jalan yang sudah disemen cukup lebar, jika tidak mau capek ke atas Anda bisa menggunakan sepeda motor.

Berjalan kaki sejauh tiga kilometer tidak akan terasakan, karena berbagai penjual makanan ramai di sini, mulai dari masakan Chinese food sampai Indonesian food, ada yang menjualnya. Tak perlu bingung, urusan makan di Gunung Kawi, sebagai makanan pembuka, udara gunung yang dingin, dapat dihangatkan dengan telo, bentoel, atau sedapnya lupis dan tetel khas Gunung Kawi.

HANGATNYA TELO
Komoditi umbi-umbian dari Gunung Kawi, yang paling populer adalah ketela atau telo Gunung Kawi. Basil bumi yang satu ini, sangat mudah dijumpai sepanjang perjalanan menuju ke pesarehan. Selain dijual mentah, telo juga dijajakan dalam keadaan matang.Telo yang telah dikukus, diletakkan dalam wadah baskam, dan ditutup dengan daun pisang. Ketika menawarkan ke pengunjung, penjaja membuka sedikit daun pisang, sehingga tampak kepulan asap dari telo hangat tersebut.
Telo daerah sini memang sudah terkenal, karena rasanya manis, salah satu pedagang tela. Untuk udara pegunungan yang dingin, telo paling pas disajikan hangat, untuk menjaga tetap mengepul, penjaja biasa membungkus rapat-rapat baskom dengan tumpukkan daun pisang.

Kulit tela terlihat segar mengkilap, menggada mata untuk mencicipi. “Wamanya cantik, selain karena terkena air kukusan, juga tela-nya manis, gulanya membuat kulit tela mengkilat,” terang ibu tiga orang anak ini. Tentang adanya anggapan bahwa tela diberi minyak gareng, agar mengkilap juga ditepisnya, “Mestinya kalau dikasih minyak khan licin, tapi ini kulitnya keset,” imbuhnya. Tela Gunung Kawi, memang terkenal manis rasanya, warna daging dalamnya berwarna kehijauan. Kata Sumiyati, telo gunung berbeda dengan telo sawah. “Telo sawah dalamnya berwarna putih, rasanya kurang manis,” terangnya.

Harga telo Gunung Kawi, lebih mahal dibanding telo di pasaran, dua ikat tela harganya Rp 15 ribu. Itu yang berukuran besar, sedangkan satu ikat kecil, harganya Rp 4 ribu. Bandingkan tela biasa di pasaran, satu kilogram hanya seribu lima ratus rupiah. “Sedikit mahal, tapi rasanya juga beda,” katanya. Jadi maklum saja, jika Anda membeli telo matang seharga seribu rupiah, hanya diberi tiga potong berukuran kecil.



Hasil pertanian lain, yang dijajakan adalah tebu. Bukan sekedar batang tebu, melainkan tebu yang sudah dipotong-potong kecil, dan dirangkai cantik. Jadi tidak perlu repot memotong, karena potongan kecil, pas di mulut. Ide merangkai tebu dengan bambu kata Sumiyati, sudah umumdilakukan penjual di Gunung Kawi, Serat bambu dibentuk lalu ditancapkan potongan tebu, hasilnya seperti rangkaian bunga. Kok telaten? “Namanya juga nyari rejeki, kudu telaten,” jawab Sumiyati.
LUPIS LEGIT

Di kaki Gunung Kawi ini, jika hari libur dan hari besar, banyak sekali penjual goreng-gorengan. Tahu, tempe kacang, tempe menjes, ubi, dan masih banyak lagi. Di samping itu, ada pula jajanan tradisional yang sudah dikenal secara umum, meski jenisnya sama, rasa, dan bentuknya ada yang sedikit berbeda, seperti lupis dan tetel. Keduanya menggunakan bahan dasar beras ketan.
Rasa lupisnya kenyal, dan dijamin, lupisnya tidak basi meski sudah dua hari. “Rasanya agak liat dari lupis di pasar,” komentar seorang pembeli. rasanya lebih kenyal, karena bahan yang digunakan beras ketan yang punel. Setiap pagi, ibu dua orang anak ini, memasak heras ketan yang sudah direndam semalam, kemudian direbus dengan air selama empat jam.
Lima kilogram, bisa jadi 150 lonjor lupis. Itu kalau berasnya mekar,” jelasnya. Lupis juga bisa dijadikan buah tangan, panganan dari beras ketan ini katanya menjadi oleh-oleh favorit pengunjung dari luar kota. Harga satu lonjor lupis, hanya Rp 2000. Jika ingin disantap di tempat, maka dengan sigap ia mengiris lupis menggunakan senar, ditata di atas pincuk daun pisang, diberi gendis atau larutan gula jawa, lalu diberi parutan kelapa.
Selain lupis, Yanti juga menjual tetel, orang Jawa ada yang menyebutnya jadah, rasanya gurih karena ada eampuran parutan kelapa. Yanti, juga tidak pelit memberikan resep tetel. “Ketan dikukus setengah matang, kemudian dicampur dengan kelapa yang sudah diparut, dan dikukus lagi,” terangnya. Tetel, lalu dibentuk menjadi bulatan sebesar mangkuk dan dibungkus plastik. “Satu gelinding, harganya hanya seribu lima ratus,” ujarnya.

RENGGINANG RENYAH
Makanan tradisional satu ini, cenderung dianggap makanan kelas kampung. Di Gunung Kawi, makanan olahan etnik, semacam kripik pisang, keripik singkong, sudah cukup terdesak oleh berbagai makanan modern. Di tengah kondisi ini, ternyata sejumlah produk makanan, yang masih mendapat tempat di hati masyarakat, yaitu rengginang, bentuk, rasa, serta aroma yang unik dan khas dari kerupuk ketan ini menjadi hal menarik bagi pengunjung.
Aktivitas pembuat rengginang, dapat dilihat sepanjang menuju pesarean, banyak penduduk yang menjemur rengginang di halaman rumah. Salah satunya adalah Mbok Yem, wanita sepuh ini menuturkan, usaha rumahan yang dilakukannya ini meski hanya sambilan. Namun, dalam seharinya ia bisa memproduksi hingga sepuluh kilogram beras ketan. Rengginang hasi olahannya yang masih mentah, ia jual dengan harga Rp 7 ribu per kilogram. Ada yang sudah dikemas plastik setengah kiloan.
Rengginang berwarna hitam yang paling laku, karena jarang ada rengginang dari ketan hitam,” jelasnya ramah. Rengginang buatannya, tanpa bahan pewarna, berbahan ketan hitam. Proses pembuatannya, beras ketan, setelah direndam selama 24 jam, diberi bumbu. “Bumbunya, bawang putih, gula, dan garam,” ujarnya. Bernada promosi, Mbok Yem mengatakan, rengginangnya dijamin renyah dan gurih. Ia juga menyediakan dalam kemasan bungkus. lsi satu bungkus ada 24 buah. “Agar rengginang mekar, sebaiknya dijemur hingga kering, baru digoreng dalam minyak panas,” kata Mbok Yem memberikan sedikit tips.

SATE AYAM BUNTEL
Area pesarean Gunung Kawi, tak pernah sepi dikunjungi para peziarah. Sementara itu, tak jauh dari tangga menuju makam, sebuah dapur yang luas dengan beberapa tungku dan penggorengan besarnya, beberapa ibu-ibu terus sibuk memasak pesanan para peziarah untuk upacara sesaji malam harinya.  

Sumber : http://jawatimuran.wordpress.com/2012/05/19/gunung-kawi-oleh-oleh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar